Thursday, November 29, 2012

KONFLIK DALAM ORGANISASI


Konflik dapat didefinisikan sebagai perselisihan dimana pihak yang terlibat merasakan ancaman terhadap kepentingan kebutuhan atau sesuatu yang menjadi perhatian pihak yang terlibat tersebut. Konflik terjadi ketika orang (atau pihak lain) memahami bahwa, sebagai konsekuensi dari ketidak-samaan persepsi, akan muncul perselisihan dan perbedaan atas suatu kepentingan, kebutuhan, atau masalah. Konflik merupakan bagian dari kehidupan normal organisasi, dimana proses ini memberikan kesempatan pada organisasi untuk tumbuh lebih baik melalui peningkatan pemahaman dan wawasan, ada juga kecenderungan untuk melihat konflik sebagai hal negatif yang disebabkan keadaan atau situasi yang diluar dari biasanya. Pada pihak yang berselisih, cenderung terbentuk batasan atas opsi penyelesaian permasalahan, tanpa melihat adanya banyak kemungkinan pemecahan masalah yang ada diluar pikiran masing-masing pihak tersebut.

Konflik organisasi adalah keadaan perselisihan yang disebabkan oleh perbedaan  kebutuhan, nilai-nilai dan kepentingan antara orang-orang yang bekerja bersama-sama dalam suatu organisasi tersebut. Beberapa hal yang memicu konflik dalam suatu organisasi seperti perselisihan atas bagaimana pendapatan harus dibagi, bagaimana pekerjaan harus dilakukan, dan seberapa lama dan giat anggota harus bekerja,  Adanya ketidaksepakatan antara individu, departemen, dan antara serikat pekerja dan manajemen. Selain itu persaingan, kecemburuan, bentrokan kepribadian, definisi peran, dan hasrat akan kekuasaan dan dukungan yang dimiliki individu dalam organisasi juuga dapat menimbulkan konfilik dalam organisasi.


 Jenis dan Sifat Konflik Organisasi

Terdapat berbagai macam jenis konflik dalam organisasi. Namun pada dasarnya, tiga tipe dasar dari konflik adalah konflik mengenai tugas, konflik interpersonal dan konflik prosedural. Ketidaksepakatan tentang substansi diskusi antara pemilik otoritas dan anggota disebut konflik tugas. Konflik tugas dapat menjadi produktif dengan meningkatkan kualitas keputusan dan proses berpikir kritis potensi konflik yang lain,  hubungan interpersonal dalam organisasidimana antar individu terdapat ketidak-cocokan atau bentrokan kepribadian.

Beberapa contoh jenis konflik dalam organisasi yaitu :

·    Konflik interpersonal
Ada orang-orang yang memang benar-benar tidak dapat disatukan. Mungkin di luar pekerjaan mereka akan memilih untuk tidak bersosialisasi atau berinteraksi. Mungkin jika mereka tidak dipaksa untuk berurusan dengan satu sama lain, mereka bisa bersikap ramah dan sopan sebatas kenalan. Tapi ketika dipaksa untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan atau untuk berbagi ruang kerja secara konsisten, pertentangan mungkin akan timbul. Dalam situasi ini, manajer harus mengambil peran sebagai mediator dan konselor untuk meredakan situasi dan menemukan resolusi, atau membuat pilihan yang sulit untuk mentransfer atau menghapus seseorang berdasarkan ketidakmampuannya untuk berfungsi dalam tim.

·    Konflik Peran
Beberapa konflik antara karyawan tidak ada hubungannya dengan kepribadian, tetapi disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan peran dan tugas. Sebagai contoh, seorang administrator rumah sakit menginstruksikan manajer perawat untuk tidak menjalankan tes tertentu pada pasien karena asuransi pasien menolak untuk menutupi biaya. Perawat mengetahui pasien perlu tes dan memiliki perintah dokter untuk menjalankannya. Kewajiban perawat dengan kode etik dan peraturan perizinan adalah untuk pasien. Administrator memiliki kewajiban fidusia ke rumah sakit. Mereka mengalami konflik karena tugas mereka. Situasi ini tidak dapat dihindari dalam organisasi. Namun, para ahli  tidak setuju tentang apakah hal ini berbahaya bagi jalannya suatu organisasi tersebut. Beberapa berpendapat bahwa beberapa konflik bertindak sebagai checks and balances sementara yang lain dapat menjadi kontra-produktif dan berbahaya bagi fungsi organisasi.

·    Teori Maturity dan Immaturity
Suatu teori menyatakan bahwa orang-orang dalam kehidupan karir mereka ingin tumbuh dan berkembang bersamaan dengan peningkatan tingkat tanggung jawab dan kesempatan yang diperoleh dalam karirnya, seperti yang mereka lakukan dalam kehidupan pribadi. Namun, pada organisasi hierarkis, demi efisiensi, memecah pekerjaan menjadi lebih terspesialisasi, memberikan karyawan batasan akan tugas yang sebenarnya mereka yakin bisa dilakukan dengan baik. Akibatnya, karyawan tidak bisa menggunakan semua bakat dan kemampuan mereka, dan merasa terbatas dan tidak mampu berkembang. Hasilnya adalah konflik antara karyawan dan organisasi itu sendiri. Pada tingkat individu karyawan dapat mengembangkan kebencian dan sikap apatis. Dalam beberapa situasi, sentimen dapat mengambil dimensi yang lebih besar dan karyawan mulai secara formal maupun informal mengatur - kadang-kadang membentuk serikat pekerja. Organisasi yang menggunakan banyak spesialisasi dan sedikit mobilitas bagi anggotanya sedikit mungkin menemukan diri mereka dengan omset yang lebih tinggi sebagai akibat dari konflik yang berasal dari Teori Maturity-Immaturity.

·    Konflik antar kelompok
Mirip dengan konflik peran, konflik antar kelompok biasanya terjadi karena peran dan fungsi tim dan departemen. Keduanya hanya mencoba untuk melakukan pekerjaan mereka, tapi entah bagaimana malah timbul persaingan antara satu sama lain. Sebuah contoh mungkin konflik antara penjualan dan departemen teknologi informasi. Departemen penjualan membutuhkan perangkat lunak untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu yang mendukung penjualan dan faktur. Departemen TI menemukan permintaan sulit karena perubahan yang diminta akan berpengaruh negatif bagian lain dari database perusahaan. Hasilnya adalah ketegangan atau konflik antar masing masing tim itu sendiri. Hal ini dianggap sebagai konflik yang cukup bermasalah yang membutuhkan resolusi melalui mediasi atau keputusan manajerial. Jika konflik terus berlanjut dan menjadi bagian dari dinamika perusahaan atau budaya, bisa menjadi sangat merusak organisasi dan semua orang yang terlibat. Dalam keadaan lain konflik antar kelompok dapat menjadi persaingan yang sehat. Contohnya, seperti dua tim penjualan yang saling bersaing untuk mendapatkan hasil terbaik. Meskipun mungkin ada beberapa mengejek dan dorongan di antara mereka, mereka mendorong satu sama lain untuk tampil lebih baik, menghasilkan komisi yang lebih tinggi untuk semua orang dan hasil yang lebih baik bagi perusahaan. Teori konflik memegang ini menjadi konflik yang sehat atau berguna.

Tidak semua konflik bersifat jelek. Menurut Hocker dan Wilmot (1995). Orang cenderung melihat konflik sebagai kekuatan negatif yang menghambat organisasi mencapai tujuan bersama. Nyatanya, walaupun memberikan dampak negatif pada organisasi, konflik sebenarnya juga dapat menyebabkan efek positif, tergantung pada sifat dari konflik. Beberapa Efek positif dari konflik antara lain meningkatkan kualitas keputusan, merangsang keterlibatan dalam diskusi dan membangun kohesi dalam organisasi.

Konflik berpotensi merusak organisasi saat konflik tersebut menyita fokus dari individu yang terlibat, dimana seharusnya mereka berkonsentrasi pada kegiatan produktif lain yang ada pada organisasi. Konflik dapat mengganggu proses kerja organisasi dan menciptakan permusuhan yang menyebabkan anggota menjadi tidak mau atau tidak mampu untuk bekerja dengan orang lain dalam mencapai tujuan organisasi. Konflik yang belum diselesaikan cenderung tumbuh menjadi konflik yang lebih besar, semakin tumbuh, semakin besar kemungkinan untuk menambah lebih banyak masalah (Knippen dan Green, 1999).

Beberapa masalah yang mungkin timbul akibat konflik adalah kurangnya kerjasama, komunikasi yang buruk, waktu terbuang, serta pengaruh buruk ke anggita organisasi yang lain. Hal ini digambarkan pada bagan berikut:




Penyelesaian Konflik

Konflik akan terjadi dalam organisasi apapun. Pada 1970-an, Kenneth Thomas dan Ralph Kilmann menyadari bahwa hasil positif bisa didapat ketika manajemen mengerti alasan di balik konflik dan seberapa serius konflik tersebut terjadi. Kedua ahli ini mengidentifikasi lima level atau cara menghadapi konflik, yang disebut “the Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument”. Memahami level manajemen konflik memungkinkan anda untuk menemukan resolusi konflik yang lebih baik. Mengetahui cara apa yang harus digunakan dalam situasi tertentu membantu manajemen mengakhiri konflik organisasi yang serius.

Berikut lima cara dalam penyelesaian konflik:

·    Competitive
At the competitive level, a person takes a position and sticks to it. Company owners and upper management often negotiate from a competitive level of conflict resolution. With the competitive level, the leader states what he wants. The leader should be persuasive and have the knowledge to back up the request. This style is useful for fast decisions or when there is a lot of resistance to change. If not careful, the person who uses this level of conflict resolution may offend others.
·    Competitive
Pada tingkat yang kompetitif, seseorang mengambil posisi dan bertahan pada posisi itu. Pemilik Perusahaan dan manajemen level atas sering bernegosiasi pada level ini untuk mendapatkan resolusi dari konflik. Pada level kompetitif, pemimpin menyatakan apa yang dia inginkan. Pemimpin harus persuasif dan memiliki pengetahuan untuk mendukung keinginannya tersebut. Cara ini berguna saat membutuhkan keputusan yang cepat atau ketika muncul banyak penolakan terhadap perubahan. Namun, Jika tidak hati-hati, orang yang menggunakan cara kompetitif ini dapat menyinggung orang lain.
·    Collaborative
Pada tingkat kolaboratif, semua ide dianggap penting dan dipertimbangkan. Level Kolaborasi melihat semua kebutuhan dan opini dari situasi dan mencoba memberikan pemecahan terbaik dari ide-ide tersebut. Cara ini direkomendasikan apabila terdapat sejarah konflik yang ekstrim dalam kelompok.
·    Compromising
Cara ini memberikan solusi yang membuat semua orang mendapatkan sebagian dari yang mereka inginkan. Namun, mereka tetap mengorbankan sesuatu agar kompromi bisa tercipta. Cara ini efektif untuk situasi di mana tenggat waktu hambir selesai dan konflik mencegah rampungnya suatu pekerjaan tersebut.
·    Accommodating
Level akomodatif digunakan dalam situasi di mana hasil proyek tidak terlalu penting, tapi lebih ke penyelesaian konflik. Dengan cara ini,  pemimpin menyerahkan situasi pada masing-masing individu dan membiarkannya menyelesaikan dengan cara mereka. Hal ini membantu meredakan situasi yang tidak kondusif, serta membangun goodwill, sehingga, saat ketika manajemen harus menggunakan cara lain karyawan lebih terbuka pada kondisi yang lebih tegas.
·    Avoiding
Pada level avoiding, individu hanya perlu menolak untuk membuat keputusan. Respon ini sangat lemah terhadap konflik tetapi dapat diterapkan dalam situasi di mana hasilnya tidak dipermasalahkan. Contoh lain yang tepat dalam menggunakan cara ini adalah ketika ada orang yang lebih cocok untuk membuat keputusan, tetapi ia membutuhkan insentif untuk melangkah ke peran kepemimpinan.



Sumber:


No comments:

Post a Comment