Konflik dapat didefinisikan sebagai
perselisihan dimana pihak yang terlibat merasakan ancaman terhadap kepentingan
kebutuhan atau sesuatu yang menjadi perhatian pihak yang terlibat tersebut. Konflik
terjadi ketika orang (atau pihak lain) memahami bahwa, sebagai konsekuensi dari
ketidak-samaan persepsi, akan muncul perselisihan dan perbedaan atas suatu
kepentingan, kebutuhan, atau masalah. Konflik merupakan bagian dari kehidupan
normal organisasi, dimana proses ini memberikan kesempatan pada organisasi
untuk tumbuh lebih baik melalui peningkatan pemahaman dan wawasan, ada juga
kecenderungan untuk melihat konflik sebagai hal negatif yang disebabkan keadaan
atau situasi yang diluar dari biasanya. Pada pihak yang berselisih, cenderung
terbentuk batasan atas opsi penyelesaian permasalahan, tanpa melihat adanya
banyak kemungkinan pemecahan masalah yang ada diluar pikiran masing-masing
pihak tersebut.
Konflik organisasi adalah keadaan perselisihan yang
disebabkan oleh perbedaan kebutuhan,
nilai-nilai dan kepentingan antara orang-orang yang bekerja bersama-sama dalam
suatu organisasi tersebut. Beberapa hal yang memicu konflik dalam suatu
organisasi seperti perselisihan atas bagaimana
pendapatan harus dibagi, bagaimana pekerjaan harus dilakukan, dan seberapa lama
dan giat anggota harus bekerja, Adanya ketidaksepakatan antara individu, departemen, dan antara
serikat pekerja dan manajemen. Selain itu persaingan,
kecemburuan, bentrokan kepribadian, definisi peran, dan hasrat akan
kekuasaan dan dukungan yang dimiliki individu dalam organisasi juuga dapat
menimbulkan konfilik dalam organisasi.
Jenis dan Sifat Konflik Organisasi
Terdapat
berbagai macam jenis konflik dalam organisasi. Namun pada dasarnya, tiga tipe
dasar dari konflik adalah konflik mengenai tugas, konflik interpersonal dan
konflik prosedural. Ketidaksepakatan tentang substansi diskusi antara pemilik
otoritas dan anggota disebut konflik tugas. Konflik tugas dapat menjadi
produktif dengan meningkatkan kualitas keputusan dan proses berpikir kritis
potensi konflik yang lain, hubungan
interpersonal dalam organisasidimana antar individu terdapat ketidak-cocokan
atau bentrokan kepribadian.
Beberapa contoh jenis konflik dalam organisasi yaitu :
· Konflik
interpersonal
Ada
orang-orang yang memang benar-benar tidak dapat disatukan. Mungkin di luar
pekerjaan mereka akan memilih untuk tidak bersosialisasi atau berinteraksi.
Mungkin jika mereka tidak dipaksa untuk berurusan dengan satu sama lain, mereka
bisa bersikap ramah dan sopan sebatas kenalan. Tapi ketika dipaksa untuk
bekerja sama untuk mencapai tujuan atau untuk berbagi ruang kerja secara
konsisten, pertentangan mungkin akan timbul. Dalam situasi ini, manajer harus
mengambil peran sebagai mediator dan konselor untuk meredakan situasi dan
menemukan resolusi, atau membuat pilihan yang sulit untuk mentransfer atau
menghapus seseorang berdasarkan ketidakmampuannya untuk berfungsi dalam tim.
· Konflik Peran
Beberapa
konflik antara karyawan tidak ada hubungannya dengan kepribadian, tetapi
disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan peran dan tugas. Sebagai contoh,
seorang administrator rumah sakit menginstruksikan manajer perawat untuk tidak
menjalankan tes tertentu pada pasien karena asuransi pasien menolak untuk
menutupi biaya. Perawat mengetahui pasien perlu tes dan memiliki perintah
dokter untuk menjalankannya. Kewajiban perawat dengan kode etik dan peraturan
perizinan adalah untuk pasien. Administrator memiliki kewajiban fidusia ke
rumah sakit. Mereka mengalami konflik karena tugas mereka. Situasi ini tidak
dapat dihindari dalam organisasi. Namun, para ahli tidak setuju tentang apakah hal ini berbahaya
bagi jalannya suatu organisasi tersebut. Beberapa berpendapat bahwa beberapa
konflik bertindak sebagai checks and balances sementara yang lain dapat menjadi
kontra-produktif dan berbahaya bagi fungsi organisasi.
· Teori
Maturity dan Immaturity
Suatu teori menyatakan bahwa orang-orang dalam kehidupan
karir mereka ingin tumbuh dan berkembang bersamaan dengan peningkatan tingkat
tanggung jawab dan kesempatan yang diperoleh dalam karirnya, seperti yang
mereka lakukan dalam kehidupan pribadi. Namun, pada organisasi hierarkis, demi
efisiensi, memecah pekerjaan menjadi lebih terspesialisasi, memberikan karyawan
batasan akan tugas yang sebenarnya mereka yakin bisa dilakukan dengan baik. Akibatnya,
karyawan tidak bisa menggunakan semua bakat dan kemampuan mereka, dan merasa
terbatas dan tidak mampu berkembang. Hasilnya adalah konflik antara karyawan
dan organisasi itu sendiri. Pada tingkat individu karyawan dapat mengembangkan
kebencian dan sikap apatis. Dalam beberapa situasi, sentimen dapat mengambil
dimensi yang lebih besar dan karyawan mulai secara formal maupun informal
mengatur - kadang-kadang membentuk serikat pekerja. Organisasi yang menggunakan
banyak spesialisasi dan sedikit mobilitas bagi anggotanya sedikit mungkin
menemukan diri mereka dengan omset yang lebih tinggi sebagai akibat dari
konflik yang berasal dari Teori Maturity-Immaturity.
· Konflik antar
kelompok
Mirip dengan
konflik peran, konflik antar kelompok biasanya terjadi karena peran dan fungsi
tim dan departemen. Keduanya hanya mencoba untuk melakukan pekerjaan mereka,
tapi entah bagaimana malah timbul persaingan antara satu sama lain. Sebuah
contoh mungkin konflik antara penjualan dan departemen teknologi informasi.
Departemen penjualan membutuhkan perangkat lunak untuk melakukan fungsi-fungsi
tertentu yang mendukung penjualan dan faktur. Departemen TI menemukan
permintaan sulit karena perubahan yang diminta akan berpengaruh negatif bagian
lain dari database perusahaan. Hasilnya adalah ketegangan atau konflik antar
masing masing tim itu sendiri. Hal ini dianggap sebagai konflik yang cukup
bermasalah yang membutuhkan resolusi melalui mediasi atau keputusan manajerial.
Jika konflik terus berlanjut dan menjadi bagian dari dinamika perusahaan atau
budaya, bisa menjadi sangat merusak organisasi dan semua orang yang terlibat.
Dalam keadaan lain konflik antar kelompok dapat menjadi persaingan yang sehat.
Contohnya, seperti dua tim penjualan yang saling bersaing untuk mendapatkan
hasil terbaik. Meskipun mungkin ada beberapa mengejek dan dorongan di antara
mereka, mereka mendorong satu sama lain untuk tampil lebih baik, menghasilkan
komisi yang lebih tinggi untuk semua orang dan hasil yang lebih baik bagi
perusahaan. Teori konflik memegang ini menjadi konflik yang sehat atau berguna.
Tidak semua konflik bersifat jelek. Menurut Hocker dan
Wilmot (1995). Orang cenderung melihat konflik sebagai kekuatan negatif yang
menghambat organisasi mencapai tujuan bersama. Nyatanya, walaupun memberikan
dampak negatif pada organisasi, konflik sebenarnya juga dapat menyebabkan efek
positif, tergantung pada sifat dari konflik. Beberapa Efek positif dari konflik
antara lain meningkatkan kualitas keputusan, merangsang keterlibatan dalam
diskusi dan membangun kohesi dalam organisasi.
Konflik berpotensi merusak organisasi saat konflik
tersebut menyita fokus dari individu yang terlibat, dimana seharusnya mereka
berkonsentrasi pada kegiatan produktif lain yang ada pada organisasi. Konflik
dapat mengganggu proses kerja organisasi dan menciptakan permusuhan yang
menyebabkan anggota menjadi tidak mau atau tidak mampu untuk bekerja dengan
orang lain dalam mencapai tujuan organisasi. Konflik yang belum diselesaikan
cenderung tumbuh menjadi konflik yang lebih besar, semakin tumbuh, semakin
besar kemungkinan untuk menambah lebih banyak masalah (Knippen dan Green,
1999).
Beberapa masalah yang mungkin timbul akibat konflik
adalah kurangnya kerjasama, komunikasi yang buruk, waktu terbuang, serta
pengaruh buruk ke anggita organisasi yang lain. Hal ini digambarkan pada bagan
berikut:
Penyelesaian Konflik
Konflik akan terjadi dalam organisasi apapun. Pada
1970-an, Kenneth Thomas dan Ralph Kilmann menyadari bahwa hasil positif bisa
didapat ketika manajemen mengerti alasan di balik konflik dan seberapa serius
konflik tersebut terjadi. Kedua ahli ini mengidentifikasi lima level atau cara
menghadapi konflik, yang disebut “the
Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument”. Memahami level manajemen
konflik memungkinkan anda untuk menemukan resolusi konflik yang lebih baik.
Mengetahui cara apa yang harus digunakan dalam situasi tertentu membantu
manajemen mengakhiri konflik organisasi yang serius.
Berikut lima cara dalam penyelesaian konflik:
· Competitive
At the competitive level, a person takes a position and
sticks to it. Company owners and upper management often negotiate from a
competitive level of conflict resolution. With the competitive level, the
leader states what he wants. The leader should be persuasive and have the
knowledge to back up the request. This style is useful for fast decisions or
when there is a lot of resistance to change. If not careful, the person who
uses this level of conflict resolution may offend others.
· Competitive
Pada tingkat
yang kompetitif, seseorang mengambil posisi dan bertahan pada posisi itu.
Pemilik Perusahaan dan manajemen level atas sering bernegosiasi pada level ini
untuk mendapatkan resolusi dari konflik. Pada level kompetitif, pemimpin
menyatakan apa yang dia inginkan. Pemimpin harus persuasif dan memiliki
pengetahuan untuk mendukung keinginannya tersebut. Cara ini berguna saat
membutuhkan keputusan yang cepat atau ketika muncul banyak penolakan terhadap
perubahan. Namun, Jika tidak hati-hati, orang yang menggunakan cara kompetitif
ini dapat menyinggung orang lain.
· Collaborative
Pada tingkat
kolaboratif, semua ide dianggap penting dan dipertimbangkan. Level Kolaborasi
melihat semua kebutuhan dan opini dari situasi dan mencoba memberikan pemecahan
terbaik dari ide-ide tersebut. Cara ini direkomendasikan apabila terdapat
sejarah konflik yang ekstrim dalam kelompok.
· Compromising
Cara ini
memberikan solusi yang membuat semua orang mendapatkan sebagian dari yang
mereka inginkan. Namun, mereka tetap mengorbankan sesuatu agar kompromi bisa
tercipta. Cara ini efektif untuk situasi di mana tenggat waktu hambir selesai
dan konflik mencegah rampungnya suatu pekerjaan tersebut.
· Accommodating
Level
akomodatif digunakan dalam situasi di mana hasil proyek tidak terlalu penting,
tapi lebih ke penyelesaian konflik. Dengan cara ini, pemimpin menyerahkan situasi pada
masing-masing individu dan membiarkannya menyelesaikan dengan cara mereka. Hal
ini membantu meredakan situasi yang tidak kondusif, serta membangun goodwill,
sehingga, saat ketika manajemen harus menggunakan cara lain karyawan lebih
terbuka pada kondisi yang lebih tegas.
· Avoiding
Pada level
avoiding, individu hanya perlu menolak untuk membuat keputusan. Respon ini
sangat lemah terhadap konflik tetapi dapat diterapkan dalam situasi di mana
hasilnya tidak dipermasalahkan. Contoh lain yang tepat dalam menggunakan cara
ini adalah ketika ada orang yang lebih cocok untuk membuat keputusan, tetapi ia
membutuhkan insentif untuk melangkah ke peran kepemimpinan.
Sumber: