Kepemimpinan
dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam
melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Sebagaimana
didefinisikan oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing and influencing the
task related activities of group members.
Kepemimpinan adalah proses dalam
mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang
harus dilakukan. Lebih jauh lagi, Griffin (2000) membagi pengertian
kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu
sebagai proses, dan sebagai atribut. Sebagai
proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yang dilakukan oleh para
pemimpin, yaitu proses di mana para
pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan organisasi bagi para
pegawai, bawahan, atau yang dipimpinnya, memotivasi mereka untuk mencapai
tujuan tersebut, serta membantu menciptakan suatu budaya produktif dalam
organisasi. Adapun dari sisi atribut,
kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seorang yang
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan
kekuatan, sehingga orang-orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok
yang layak memimpin mereka.
Kepemimpinan
merupakan hasil daripada organisasi sosial yang telah terbentuk atau sebagai
hasil dinamika daripada interaksi sosial. Sejak mula kala terbentuknya suatu
kelompok sosial, seseorang atau beberapa orang di antara warga-warganya
melakukan peranan yang lebih aktif daripada rekan-rekannya, sehingga orang tadi
atau beberapa orang tampak lebih menonjol daripada yang lainnya. Itulah asal mula timbulnya kepemimpinan, yang
kebanyakan timbul dan berkembang dalam struktur sosial yang kurang stabil.
Munculnya seorang pemimpin sangat diperlukkan dalam keadaan – keadaan di mana
tujuan daripada kelompok sosial yang bersangkutan terhalang atau apabila
kelompok tadi mengalami ancaman- ancaman dari luar. Dalam keadaan demikianlah, agak
sulit bagi warga – warga kelompok yang bersangkutan untuk menentukkan langkah –
langkah yang harus diambil dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya.
Munculnya seorang
pemimpin merupakkan hasil dari suatu proses yang dinamis yang sesuai dengan
kebutuhan – kebutuhan kelompok tersebut. Apabila dalam saat tersebut muncul
seorang pemimpin, maka kemungkinan besar
kelompok tersebut akan mengalami suatu disintegrasi. Tidak munculnya pemimpin
tadi adalah mungkin karena seorang individu yang diharapkan menjadi
pimpinan, ternyata tidak berhasil
membuka jalan bagi kelompoknya untuk mencapai tujuan dan bahwa kebutuhan
warganya tidak terpenuhi.
Tipologi Kepemimpinan
Dalam praktiknya,
dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan;
di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis
Seorang pemimpin
yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut:
Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi, Mengidentikkan tujuan pribadi
dengan tujuan organisasi, Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, Tidak
mau menerima kritik, saran dan pendapat, Terlalu tergantung kepada kekuasaan
formalnya, Dalam tindakan pengge-rakkannya sering mempergunakan pendekatan yang
mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
Tipe Militeristis
Perlu
diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe
militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang
pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki
sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih
sering dipergunakan, Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada
pangkat dan jabatannya, Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan, Menuntut
disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan, Sukar menerima kritikan dari
bawahannya, Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Tipe Paternalistis.
Seorang pemimpin
yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki
ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa,
bersikap terlalu melindungi (overly protective), jarang memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengambil keputusan, jarang memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif, jarang memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya, dan sering
bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik.
Hingga sekarang
ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin
memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya
tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang
jumlahnya sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat
menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya
pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik,
maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan
kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat
dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya,
Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah
seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu
terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat
digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe Demokratis.
Pengetahuan
tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah
yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe
kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses
penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu
adalah makhluk yang termulia di dunia, selalu berusaha mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari
pada bawahannya, senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari
bawahannya, selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha
mencapai tujuan, ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu
tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat
kesalahan yang lain, selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses
daripadanya, dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai
pemimpin.
Secara implisit
tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah.
Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya
jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kepemimpinan
Hersey dan Blanchard (1988) mengajukan semacam formula bahwa gaya
kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dan tiga komponen, yaitu
pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan
tersebut diwujudkan. Bertolak dan pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard
mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dan
pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s), yang dapat dinotasikan
dalam bentuk formula :
k = f (p, b, s).
Pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau
kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai
dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan
mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan
yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau
sekelompok orang yang merupakan anggota dan suatu perkumpulan atau pengikut
yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati
bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan
yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung
kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk
memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) adalah suatu keadaan di mana seorang pimpinan berusaha
pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti
kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya,
tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang
dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan
demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu
pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan
lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
Selain Hersey dan Blanchard, para ahli yang membahas tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kepemimpinan adalah Theodore J. Kowalski, Thomas J. Lasley
II, James W. Mahoney (2008). Ketiga ahli
ini memandang kepemimpinan dipengaruhi oleh tiga lingkaran variabel, yaitu
variabel individu, organisasi, dan
sosial. Seperti tampak pada gambar berikut:
Keputusan tentu diambil oleh individu. Akan tetapi keputusan itu tidaklah
murni disebabkan oleh kehendak individu tersebut, tetapi ada pengaruh dari
faktor organisasi kemudian faktor sosial yang melikupi individu tersebut.
Kowalski dkk. (2008: 25-46) menguraikan faktor-faktor dalam tataran individu,
organisasi, dan sosial.
Pada tataran individu, faktor-faktor yang mempengaruhi adalah
pengetahuan dan keterampilan,
karakteristik pribadi, nilai-nilai yang diyakini, penyimpangan, dan gaya
dalam membuat keputusan. Variabel organisasi mencakup iklim dan budaya, politik organisasi, ancaman dan resiko,
Ketidak-pastian, kerancuan, dan pertikaian.
Sedangkan yang mencakup variabel sosial adalah kebutuhan resmi, meta
–value, politik, dan ekonomi.
Dengan pola dikotomi, berdasarkan formula Hersey dan Blanchard serta penjelasan yang dikemukakan Kowalski
dkk. di atas, penulis bisa membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan
menjadi dua faktor besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal adalah faktor-faktor yang muncul dari diri pemimpin, sedangkan faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang terkait dengan karakteristik bawahan dan
situasi. Termasuk didalamnya situasi organisasi dan sosial.
- Faktor Internal
Sebagai seorang pribadi, pemimpin tentu memiliki karakter unik yang
membedakannya dengan orang lain. Keunikan ini tentu akan berpengaruh pada
pandangan dan cara ia memimpin. Ada karakter bawaan yang menjadi ciri pemimpin
sebagai individu, ada kompetensi yang terbentuk melalui proses pematangan dan
pendidikan.
Menurut Mustodipradja, dengan mengutip Rothwell dan Kazanas, kompetensi
pemimpin merupakan cerimanan kepribadian (traits) individual yang
bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dan
Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu
berupa motives, self koncept.knowledge, dan skill.
Menurut review Asropi (2002),
berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits merunjuk
pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap
berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang selalu
dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau
menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan
seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai
tujuan yang diharapkan. Self concept adalah sikap, nilai, atau citra
yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada
seseorang siapa dirinya. Knowledge
adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan
tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.
Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention
dalam diri individu, skill bersifat action. Skill menjelma sebagai
perilaku yang di dalamnya terdapat motives,
traits, self concept, dan knowledge.
Dengan mengutip pendapat Spencer (1993) dan Kazanas (1993), Asropi
menjelaskan bahwa kompetensi
kepemimpinan secara umum dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu
kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexibility,
concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual
thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship
building, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial
orientation, building organizational commitment, dan empowering others,
develiping others. Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan
kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manaj
erial.
Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut dapat
diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut : pimpinan puncak, pimpinan
menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kompetensi
pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation, relationship
building, initiative, influence, strategic thinking, building organizational
commitment, entrepreneurial orientation, empowering others, developing others, dan
felexibilty.
Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence,
result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative,
empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship
building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural
sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan
supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical
expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding,
service orientation, building organzational commitment, concern for order,
influence, felexibilty,relatiuonship building, result (achievement)
orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.
Asropi meyakinkan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang
memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang
proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain
dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5)
memotivasi bawahan.
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia
mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang
masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknis maupun
manajerial. Dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer, kunci dan
kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling
tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan,
pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan
memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria
kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen
organisasional yang kuat, visionary, disiplin din yang tinggi, tidak
melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi
yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai
pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar
spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
- Faktor Eksternal
Faktor eksternal jika dikaitkan dengan formula Hersey dan Blanchard, adalah
faktor bawahan dan situasi. Faktor bawahan adalah faktor yang disebabkan oleh
karakter bawahan, di dalamnya terkait dengan status sosial, pendidikan,
pekerjaan, harapan, ideologi, agama dll.
Faktor-faktor itu tentu akan menentukan bagaimana pemimpin mengatur dan
mempengaruhinya. Jika bawahan itu adalah
siswa, maka pemipimpin akan menjalan pola kepemimpinan sesuai dengan karakter
siswa. Karakter siswa pun akan berbeda-beda, ada yang belum dewasa sehingga
pemimpin mendekatinya dengan pendekatan pedagogi, ada pula siswa yang sudah
dewasa sehingga memerlukan pendekatan andragogi.
Faktor eksternal lain adalah faktor situasi. Situasi ini berkaitan dengan
aspek waktu, tempat, tujuan, karakteristik organisasi dll. Bertalian dengan waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan mempengaruhi cara
pandang dan budaya manusia. Perkembangan itu berdampak pula pada perubahan
konsep kepemimpinan. Hasbi Umari
(2006:1-4) memaparkan bahwa ada
perkembangan dalam kepemimpinan dilihat dari konteks sosial umat Islam.
Menurut Umari, Ada tiga fase dalam
periodesasi kepemimpinan umat di Indonesia. Setiap fase menunjukan genesis
kepemimpinan yang khas. Pertama, fase ulama. Pada fase ini, seseorang
menjadi pemimpin umat karena is memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan
menjadi rujukan umat. Ia melewati masa awal hidupnya di pesantren sebagai
santri dan menghabiskan sisa hidupnya jugs di pesantren sebagai kiyai.
Kedua, fase organisator. Sebagai reaksi terhadap kebijakan politis kolonial,
mungkin antara lain politik etis, masyarakat khususnya umat Islam membentuk
organisasi (sosial, ekonomis, atau politis) seperti Syarikat Islam,
Muhanunadiyah, NU, Persis, Jami`atul Khair, dan lain-lain. Pada fase ini,
pemimpin Islam adalah pemimpin organisasi Islam. Tentu raja, karir kepemimpinan
kini tidak dimulai di pesantren, tetapi dari organisasi. Orang menapak, secara
berangsur-angsur atau melompat, hierarki organisasi. Variabel kepemimpinan yang
utama tidak lagi pengetahuan agama yang mendalam, tetapi keterampilan
organisasi (organization skill), termasuk lobbying dan kasak
kusuk. Yang sampai ke tingkat nasional, melalui jenjang organisasi, pada
umumnya, walaupun tidak selalu, adalah orang yang mempunyai pijakan loka1.
Fase ketiga, fase pemuka pendapat (opinion leader). Pada fase
pertama, pemimpin ulama lahir dan dibesarkan di pesantren. Pada fase kedua,
pemimpin organisator lahir dan dibesarkan di organisasi. Dan bagaiinana pula
dengan pemimpin umat di besarkan melalui media massa.. Ini adalah dampak
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berdampak pada kepemimpinan umat. Pada fase ini yang dianggap sebagai pemimpin umat
adalah para empu yang (dianggap) pandai melontarkan isu-isu penting untuk
dijadikan agenda media massa. Mereka menulis di media, atau menghadiri berbagai
seminar dan diskusi. Atau, mereka mampu menyedot massa yang banyak dalam
acara-acara mereka. Apabila media massa yang mengagendakan isu-isu mereka itu
lokal, mereka menjadi pemimpin umat berskala lokal. Apabila medianya nasional,
merekamenjadi pemimpin umat berskala nasional.
Pengikut fase pertama, santri; fase kedua, anggota organisasi; fase ketiga,
"fans" (penggemar). Pada fase ketiga, pemimpin umat (Islam) menjadi
"idola". Ada dua jenis pemimpin umat pada fase ketiga ini' yaitu:
Pertama, mubalig. Ia mungkin memulai kariemya pada tingkat lokal. la berbicara pada
majelis-majelis taklim atau stadiun radio. Ceramahnya direkam, dan rekamannya direproduksi
dan dijual secara nasional. Media massa menyiarkan ceramahnya dan
menokohkannya. Tidak perlumubaligituberasal dan pesantren; tidak perlu ia
menguasai pengetahuan agama yang mendalam; juga tidakperlu ia memiliki
keterampilan komunikasi, termasulc ketnampuan menyiarkan agama sebagai pop
culture. Karena digemari oleh orang banyak, para mubaligh menjadi celebrities.
Dunia celebrities sudah lama dihuni oleh para entertainers, misalnya
artis, pelawak, dan perancang mode. Maka, terjadilah tumpang tindih; mubaligh
menjadi artis, artis menjadi mubaligh.
Kedua, cendekiawan. Apabila mubaligh lebih banyak menyentuh ranah afektif,
cendekiawan bergerak di ranah kognitif. Ia dibesarkan lewat kerja sama kampus
dengan media massa. Melalui tulisan di media, seminar, dan diskusi,
paracendekiawan membentukjanngan pengikulnya Bukanmenuduh, umumnya pengetahuan
agama mereka sangat dangkal. Akan tetapi, analisis mereka
tentangpersoalan-persoalan umat sangat tajam. Mereka membentuk opini, sikap,
dan akhimya tindakan umat.
Perkembangan Zaman pun memperlihatkan bahwa ada tiga liran teori kepemimpinan yang mengalami perubahan
pandangan seiring dengan waktu . Studi kepemimpinan yang pada awal
perkembangannya cenderung bersifat induktif murni menempati posisi sentral
dalam literatur manajemen dan perilaku keorganisasian pada beberapa dekade
terakhir.
Secara umum kajian perkembangan riset dan teori kepemimpinan dapat
dikategorikan menjadi tiga tahap penting. Pertama, tahap awal studi
tentang kepemimpinan menghasilkan teori-teori sifat kepemimpinan (trait
theories), yang mengasumsikan bahwa seseorang dilahirkan untuk menjadi
pemimpin dan bahwa dia memiliki sifat atau atribusi personal yang membedakannya
dari mereka yang bukan pemimpin. Kedua, karena muncul kritik terhadap
sulitnya mengelompokkan dan memvalidasi sifat pemimpin, kemudian muncul
teori-teori perilaku kepemimpinan (behavioral theories). Pada teori ini
penekanan yang semula diarahkan pada sifat pemimpin dialihkan kepada perilaku
dan gaya yang dianut oleh para pemimpin. Dengan demikian, berdasarkan teori
ini, agar organisasi dapat berjalan secara efektif, terdapat penekanan terhadap
suatu gaya kepemimpinan terbaik (one best way of leading). Ketiga, berdasarkan
anggapan, bahwa baik teori-teori sifat kepemimpinan maupun teori-teori perilaku
kepemimpinan memiliki kelemahan yang sama yaitu mengabaikan peranan penting
faktor-faktor situasional dalam menentukan efektifitas kepemimpinan, kemudian
muncul teori-teori kepemimpinan situasional (situational theories). Dan
pengembangan kelompok teori yang terakhir ini, maka terjadi perubahan orientasi
dari `one best way leading' menjadi 'context-sensitive leadership'
(Dewi, Piramida Vol.V no.1, 2009).
Dilihat dari faktor tempat pun, konsep
kepemimpinan pun akan berubah. Dilihat
dari cakupannya, kita bisa mengkategorikan
kepemimpinan lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Semakin luas cakupan kepemimpinan akan berdampak pada
tuntutan nilai-nilai universal yang
lebih luas. Semakin sempit cakupan
(lokal bahkan pada level organisasi)
akan muncul tuntutan warna loka sesuai dengan kultur masayarakat
setempat. Tulisan La Ode Turi (Budaya
Kepemimpinan Lokal dalam Pelaksanaan
MBS, Universitas Kendari) dan Tulisan
Dewi Kurniasih (Kepemimpinan Politik Orang Sunda, Unikom Bandung) merupakan contoh pendapat bahwa kepemimpinan
di wilayah lokal, harus memperhatikan aspek budaya lokal jika kepemimpinan itu
ingin efektif.
Agama dan ideologi pun tentu berpengaruh
terhadap kepemimpinan. Komunitas
masyarakat Islam, tentu akan menggunakan nilai-nilai Islam dalam penyusunan konsep dan aplikasi
kepemimpinannya. Demikian pula masyarakat
Kristen, Budha, dll.
Ideologi komunis akan menjalankan
kepemimpinan dengan ideologi komunis, demikian pula ideologi liberal.
Sumber: